-->
  • Jelajahi

    Copyright © NGOPII
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sejarah Muhammadiyah Bagian 2 Mencari Syariat di Politik dua Zaman

    Sabtu, 03 Mei 2014, 00.59 WIB Last Updated 2015-11-09T08:30:44Z
    Sejarah Muhammadiyah Bagian 2 Mencari Syariat di Politik dua Zaman
    Judul : Sejarah Muhammadiyah Bagian 2 Mencari Syariat di Politik dua Zaman
    Penulis: Abu Mujahid
    Penerbit : Toobagus Publishing
    Ukuran : 17 cm x 25 cm, soft cover, 200 hal, uv, shrink
    Harga : Rp 75.000
    Harga di sini: Rp. 60.000
    Disc: 20 %

    Sinopsis Buku Sejarah Muhammadiyah Bagian 2 Mencari Syariat di Politik dua Zaman

    Sebagian Isi Pengantar Penerbit
    Dalam istilah Arab, manusia disebut sebagai al-hayawan an-nathiq, hewan yang berbicara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia disebut sebagai makhluk yang berakal budi. Terkait dengan dunia politik, manusia disebut sebagai zoon politicon, hewan yang ingin selalu gaul.
    Demikian pula dengan Muhammadiyah, ada masanya, ketika Muhammadiyah terlibat aktif dalam pentas  politik secara lembaga. Bukan saja person to person. Mereka, waktu itu, terlibat aktif dalam politik: berbicara, bersikap, dan berbuat dalam aturan main politik demokratis, politik yang berlandaskan asas demokrasi.
    Kala sedang di ujung tanduk kekuasaannya, Sukarno pernah mengucapkan kata-kata indah yang sekarang sayangnya hanya menjadi pepesan kosong, ”Jas Merah: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Bahwa Muhammadiyah pernah berpolitik, barangkali, itu sudah menjadi masa lalu mereka. Tetapi ingat, siapa yang dapat menjamin sejarah tidak terulang lagi, selain Allah. Kita tahu, beberapa tahun lalu, Muhammadiyah hampir terbawa arus berpolitik secara lembaga.
    Setelah mengukuhkan diri sebagai organisasi Islam yang melakukan pembaruan di bidang pendidikan, Muhammadiyah tertarik untuk mengupayakan kehendak memerintah negeri dengan tangan sendiri, bukan dengan tangan penjajah lagi. Upaya ini, mau-tidak-mau, membawa Muhammadiyah ke tengah pergaulan organisasi-organisasi politik yang ada waktu itu.
    Bagi sebagian mereka itu sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tetapi sebagian lain menyayangkan hal itu. Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, kata mereka. Muhammadiyah bukan partai politik. Jika anggota Muhammadiyah hendak berpolitik, silakan cari kendaraan politik yang ada. Jangan membawa Muhammadiyah.
    Bagian kedua sejarah Muhammadiyah ini berusaha mengangkat tahun-tahun ketika anggota-anggota Muhammadiyah melihat politik sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Bermula dari perjuangan untuk mempengaruhi pemerintah kolonial agar mengeluarkan kebijakan yang tidak merugikan umat Islam, mereka terseret kemudian ke dalam pusaran politik nasional republik muda lndonesia. Dan perdebatan kembali mengemuka.
    Dalam buku ini, kita akan melihat, betapa manusia sering memiliki cara pandang berbeda tentang satu hal. Perbedaan di tengah umat Islam memang bukan rahmat. Tetapi perbedaan dan perselisihan adalah sesuatu yang mesti. Selalu menghampiri, mengobrak-abrik barisan, dan memunculkan korban-korban di jalan yang dilalui.
    Dalam politik, yang abadi hanya kepentingan. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah tahu itu. Sekarang, yang selalu menjadi pertanyaan, apakah di dalam dakwah kepentihgan menjadi sesuatu yang abadi? Atau memang pada mulanya kepentingan dakwah itu abadi, sebelum kita akhirnya menjadikan itu retak?
    Terima kasih kepada penulis yang kembali meluangkan waktunya untuk menulis bagian kedua dari sejarah Muhammadiyah. Kami percaya, berbicara tentang orang lain selalu menjadi sesuatu yang mudah buat kita semua. Yang sulit itu: berbicara tentang diri-diri kita sendiri. Mudah-mudahan suatu hari nanti kita bisa bicara tentang diri-diri kita sendiri.
    Pada akhirnya, semua kami kembalikan kepada Allah ta’ala semata. Semoga, apa yang ditulis ini menjadi sesuatu yang dapat berguna bagi kita semua. Sekarang dan hari nanti. Demikian, jazahumullahu khuyran. Walhamdulillahi rabbil ’alamin.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini